Sabtu, 17 November 2012

Essay Contest


Last week, there're some contest that my camp holding it, Photography Contest, Caricature Contest, and the last one, it's Essay. and i choose it. the theme is about "Violence in Education, is that curriculumn's wrongness?"
here's my essay, come out, and thought this one :3

ENCOURAGEMENT, BUKAN DISCOURAGEMENT
            Negara kita, Indonesia, sebuah negara berkembang yang memiliki peduduk lebih dari 244 juta jiwa. Dengan jumlah sumber daya manusia yang lebih banyak dibandingkan dengan Perancis , wajar bila seandainya timbul pertanyaan “kenapa kita tidak bisa menjadi negara maju seperti Perancis dengan penduduk kurang dari 100 juta jiwa”. Setidaknya dengan wilayah dan sumber daya manusia yang kaya, Indonesia harus lebih maju dibanding Perancis.
Titik persoalan yang melatarbelakanginya terletak pada kekuatan sumber daya manusia itu sendiri. Pada dasarnya tidak ada faktor yang membedakan sumber daya manusia negara maju dengan sumber daya manusia di negara berkembang. Namun, tolak ukur yang lebih dipentingkan terdapat pada tingkat pendidikan. Semakin tinggi kualitas sumber daya manusianya, semakin tinggi pula potensi untuk memajukan negaranya.
Dengan jelas, hal diatas menggambarkan bahwa pendidikan Indonesia dengan pendidikan di negera asing memiliki perbedaan. Diferensiasi yang cukup signifikan terdapat pada proses dan pola pendidikannya dalam mencapai tujuan.
Kita lihat Indonesia, Undang-Undang Pendidikan yang sering direfisi, kurikulum pendidikan yang sering diperbaharui, praktik pendidikan yang bertentangan sering menghantui masyarakat. Tidak hanya itu, para pemeran peserta didik pun mempunyai karakter yang beragam sehingga menimbulkan masalah yang beragam pula.
Misalnya, banyak siswa yang menyontek demi nilai dan tugas terpenuhi tanpa mengerti sama sekali apa yang mereka kerjakan. Menyontek merupakan perilaku korupsi kecil, dan korupsi itu dibibiti dengan kebohongan. Kembali kita lihat pada masing-masing karakter guru yang seharusnya mendidik muridnya diawali dengan sebuah kejujuran. Hal penting yang sejenak terlupakan, kejujuran, kunci dari segalanya.
Sistim pendidikan saat ini berbasiskan pada KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan), dimana peserta didik (murid) dituntut lebih aktif daripada pendidiknya (guru). Tetap saja kita beranggapan bahwa tugas seorang guru adalah menerangkan dan memberikan nilai atas usaha muridnya selama proses belajar. Betapa bangganya seorang guru yang membagi ilmu pada anak didik beliau, dan anak didiknya kembali membagikan ilmu tersebut pada generasi berikutnya.
Seorang guru berhak memberikan nilai pada siswanya dan memberi tahu kriteria penilaiannya. Tapi apakah seorang guru pernah mengajarkan bagaimana seorang siswa harus berjuang demi mendapat nilai darinya? Mungkin ada sebagian guru yang mengajarkan itu, tapi seorang siswa juga memperhitungkan kebiasaan guru tersebut. Jika guru itu malas membaca tugas para siswa dan hanya membubuhkan tanda tangan sebagai pengahargaan bagi usaha siswa mengerjakan tugas, para siswa juga cenderung mengerjakan tugas dengan asal-asalan dan menyalinnya dari internet atau temannya tanpa mereka mengerti apa yang mereka salin. Sebenarnya apa tujuan guru memberi tugas tersebut? Untuk nilai atau agar siswanya mengerti materi yang ditugaskan?
Apakah dalam KTSP seorang guru hanya memberi tugas dan nilai saja? Ataukah dalam KTSP, seorang siswa dituntut untuk bertanya apa yang tidak dimengerti dan guru tersebut akan menjelaskannya untuk siswa yang bertanya saja? Banyak siswa yang dibiarkan tidak bisa karena ia malu bertanya pada gurunya. Banyak guru yang menganggap siswa yang tidak bertanya sudah bisa. Tak heran apabila banyak anggota DPR yang tertidur saat pemimpinnya sedang berbicara karena dari dulu mereka diajarkan bahwa orang yang berbicara itu bukan untuk dirinya, tetapi untuk orang yang mengajukan pertanyaan pada pemimpin tersebut.
Setiap manusia terlahir dengan potensi masing-masing. Tanpa digali dan dikembangkan potensi tersebut tidak ada apa-apanya. Menuntun manusia agar potensinya dapat menjadi sesuatu yang berharga adalah tugas seorang guru. Setiap murid juga terlahir dengan kekurangan masing-masing. Namun, kekurangan itu ada bukan untuk diremehkan atau dilupakan begitu saja. Kekurangan itu ada karena kita harus berusaha untuk melengkapinya dengan usaha dan upaya.
Seorang murid yang kurang dalam pelajaran Bahasa Inggris, belum tentu dia juga kurang pada pelajaran lain. Guru yang baik akan menghargai kekurangan dan kelebihan siswanya. Dan guru yang mendukung siswanya adalah guru yang percaya akan kemampuan siswanya.
Kita lirik lagi pada budaya Indonesia, adanya hukuman fisik sudah menjadi hal yang sangat wajar dan masih banyak para pendidik yang memberikan hukuman fisik terhadap peserta didik mereka. Sebuah data menyatakan, selama bulan Januari-April 2007 terdapat 417 kasus kekerasan terhadap anak. Kekerasan fisik 89 kasus, kekerasan seksual 118 kasus, dan kekerasan psikis 210 kasus. Dari jumlah itu, 226 kasus terjadi di lingkungan sekolah.
Dalam menetapkan norma di sekolah, perlu didukung dengan adanya sanksi. Jika hukuman dan sanksi itu tidak sesuai dengan sebagaimana mestinya, maka terjadi kekerasan. Sering kali adanya kesenjangan kepentingan antara pendidik dengan peserta didiknya, maka tak jarang pula timbullah masalah, sehingga hukuman dijatuhkan pada peserta didik, karena guru merasa berkewajiban dalam mempertahankan disiplin dan norma yang berlaku disekolah. Sering kali hukuman itu bertentangan dengan hakikat pendidikan dan hak azasi anak. Dan kekerasanlah hukumannya.
Menurut Blask (1951) Kekerasan (violence) adalah pemakaian kekuatan yang tidak adil, dan tidak dapat dibenarkan, yang disertai emosi yang hebatatau kemarahan yang tidak terkendali, tiba-tiba, bertenaga, kasar dan menghina. Kekuatan itu biasanya kekuatan fisik yang disalahgunakan terhadap hak-hak umum, kebebasan umum sehingga bertentangan dengan hukum.
Kekerasan dalam pendidikan tampak seperti hukuman fisik yang mana pendidik tidak punya pilihan lain yang lebih baik lagi, yang sudah kehabisan akal, atau pendidik yang sudah terbiasa untuk berlaku kasar. Menurutnya, kekerasan adalah hal yang mudah karena tidak membutuhkan pemikiran, latihan atau pengertian terhadap peserta didik, cukup dengan kewenangan melakukannya.
Kekerasan memang tidak selalu merupakan perilaku menyimpang. Ada juga paham yang yang mengemukakan bahwa kekerasan itu sudah melekat pada kemanusiaan seseorang, dan menganggapnya sebagai alat pengendali diri (self restraint).
Kemungkinan terjadinya kekerasan diawali oleh latar belakang pendidik dan anak didik. Atau oleh situasi saat berlangsungnya proses pembelajaran yang menimbulkan gejolak kedua belah pihak. Namun, beban kurikulum yang padat mungkin sedikit memicu persoalan. Bisa juga terjadi karena guru tidak paham makna dari kekerasan dan akibat negatifnya. Menurutnya, murid akan jera karena dihukum dengan beban fisik. Justru sebaliknya, hal itu dapat menyebabkan tekanan mental pada siswa, terlebih lagi jika peserta didik tersebut membenci dan tidak lagi respek terhadap gurunya.
Terjadinya hal demikian karena kurangnya kasih saying guru, seolah-olah dia memperlakukan muridnya sebagai subjek yang memiliki perbedaan individual. Juga karena kurangnya kompetensi kepala sekolah untuk membimbing dan mengevaluasi pendidik di sekolahnya.
Kisah kekerasan dalam pendidikan sering terjadi di Indonesia. Dampaknya selain menimbulkan luka fisik, juga luka psikologis. Fenomena ini bukan semata masalah pribadi, tapi juga merupakan tanggung jawab negara dan masyarakat, maupun menegak hukum harus terlibat untuk mengatasinya. Komite sekolah seharusnya lebih berperan dalam meniadakan praktik kekerasan yang bertentangan dengan tujuan pendidikan.
Murid yang mengalami hukuman fisik akan mamakai kekerasan di lingkungan keluarganya nanti, begitulah siklus kekerasan. Kekerasan akan melahirkan kekerasan. Disadari atau tidak, kekerasan akan membentuk psikologi sosial masyarakat Indonesia yang sampai saat ini masih terjadi di lingkungan kita, seperti kekerasan kakak kelas terhadap adik kelasnya.
Dampak dari kekerasan akan melahirkan proses ketakutan dalam diri anak untuk menciptakan ide-ide yang inovatif dan inventif. Kepincangan psikologis ini dapat kita lihat pada anak-anak sekolahan yang cenderung pasif dan merasa takut dan malu untuk berbicara didepan umum. Anak yang diberi hukuman fisik akan mengalami gangguan psikologis seperti pendiam, suka menyendiri, dan terkadang melakukan kekerasan yang sama terhadap teman atau orang lain.
Mari kita bandingkan sistim pendidikan Indonesia dengan negara lain. Di Amerika, murid baru dari negara lain yang diberikan tugas membuat karangan yang menurut orang tuanya karangan tersebut tidak ada logikanya dan sangat sederhana mendapatkan nilai E (excellent) yang artinya sempurna. Orang tuanya kembali bertanya, bukankah pendidikan itu memerlukan kesungguhan?. Di Indonesia, guru sangat sulit untuk memberi nilai. Filosofi mendidik disana bukan untuk menghukum, melainkan untuk merangsang murid-murid agar maju. Encouragement. Bagi seorang guru Amerika, murid luar negeri yang baru saja datang ke negaranya, dan melihat karangan berbahasa Inggris, itu adalah hal yang luar biasa. Kita tidak dapat mengukur prestasi orang lain menurut ukuran kita.
Di Indonesia, ketika seorang penguji atau promotor membela atau meluruskan pertanyaan, penguji marah-marah, tersinggung, dan menyebarkan berita tidak sedap seakanakan kebaikan itu ada udang di balik batunya. Sebagai orang yang diuji, dia akan mengalami frustrasi yang luar biasa menyaksikan bagaimana para dosen menguji berbelit-belit seakan membuat suasana yang tidak bersahabat. Mereka bukan melakukan encouragement, melainkan discouragement. Hasilnya pun bisa diduga, kelulusan rendah dan yang diluluskan pun kualitasnya tidak hebat-hebat betul. Orang yang tertekan ternyata belakangan ditemukan juga menguji mahasiswanya dengan cara menekan. Ada semacam balas dendam dan kecurigaan.
            Pantaslah anak-anak di sana mampu menjadi penulis karya-karya ilmiah yang hebat, bahkan penerima hadiah Nobel. Bukan karena mereka punya guru yang pintar secara akademis, melainkan karakternya sangat kuat: karakter yang membangun, bukan merusak.
Bisakah kita mencetak orang-orang hebat dengan cara menciptakan hambatan dan rasa takut? Bukan tidak mustahil kita adalah generasi yang dibentuk oleh sejuta ancaman, rotan pemukul, tangan bercincin batu akik, kapur, dan penghapus yang dilontarkan dengan keras oleh guru, sundutan rokok dan seterusnya. Kita dibesarkan dengan seribu satu kata-kata ancaman: Awas..., Kalau,..., Nanti,..., dan tentu saja tulisan berwarna merah menyala di atas kertas ujian dan rapor di sekolah. Dan pastinya, tidak dengan kekerasan.
Solusi mengatasi kekerasan dalam pendidikan bisa dilakukan dengan mengarahkan semua pihak ke hal-hal yang positif dan meniadakan hal yang negatif. Beberapa alternatif pengganti hukuman fisik seperti menjalankan aturan secara konsisten, memperlakukan semua murid secara sama, membuat aturan yang mudah dimengerti dan dijalankan, berpikiran positif dan selalu berlandaskan kejujuran.
Kejujuran memang datang dari diri sendiri dan untuk diri sendiri pula, tapi tidak ada salahnya mencontohkan kejujuran untuk orang lain dan mendidiknya untuk berperilaku jujur. Meskipun kejujuran sepenuhnya tidak mampu membawa Indonesia menjadi negara maju, setidaknya Indonesia mampu berkembang dengan keadaan yang cukup baik untuk kesejahteraannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar