Last week, there're some contest that my camp holding it, Photography Contest, Caricature Contest, and the last one, it's Essay. and i choose it. the theme is about "Violence in Education, is that curriculumn's wrongness?"
here's my essay, come out, and thought this one :3
here's my essay, come out, and thought this one :3
ENCOURAGEMENT,
BUKAN DISCOURAGEMENT
Negara kita, Indonesia, sebuah
negara berkembang yang memiliki peduduk lebih dari 244 juta jiwa. Dengan jumlah
sumber daya manusia yang lebih banyak dibandingkan dengan Perancis , wajar bila
seandainya timbul pertanyaan “kenapa kita tidak bisa menjadi negara maju
seperti Perancis dengan penduduk kurang dari 100 juta jiwa”. Setidaknya dengan
wilayah dan sumber daya manusia yang kaya, Indonesia harus lebih maju dibanding
Perancis.
Titik persoalan yang melatarbelakanginya terletak pada kekuatan sumber
daya manusia itu sendiri. Pada dasarnya tidak ada faktor yang membedakan sumber
daya manusia negara maju dengan sumber daya manusia di negara berkembang. Namun,
tolak ukur yang lebih dipentingkan terdapat pada tingkat pendidikan. Semakin
tinggi kualitas sumber daya manusianya, semakin tinggi pula potensi untuk
memajukan negaranya.
Dengan jelas, hal diatas menggambarkan bahwa pendidikan Indonesia dengan
pendidikan di negera asing memiliki perbedaan. Diferensiasi yang cukup
signifikan terdapat pada proses dan pola pendidikannya dalam mencapai tujuan.
Kita lihat Indonesia, Undang-Undang Pendidikan yang sering direfisi,
kurikulum pendidikan yang sering diperbaharui, praktik pendidikan yang
bertentangan sering menghantui masyarakat. Tidak hanya itu, para pemeran
peserta didik pun mempunyai karakter yang beragam sehingga menimbulkan masalah
yang beragam pula.
Misalnya, banyak
siswa yang menyontek demi nilai dan tugas terpenuhi tanpa mengerti sama sekali apa
yang mereka kerjakan. Menyontek merupakan perilaku korupsi kecil, dan korupsi
itu dibibiti dengan kebohongan. Kembali kita lihat pada masing-masing karakter
guru yang seharusnya mendidik muridnya diawali dengan sebuah kejujuran. Hal
penting yang sejenak terlupakan, kejujuran, kunci dari segalanya.
Sistim pendidikan saat ini berbasiskan pada KTSP (Kurikulum Tingkat
Satuan Pendidikan), dimana peserta didik (murid) dituntut lebih aktif daripada
pendidiknya (guru). Tetap saja kita beranggapan bahwa tugas seorang guru adalah
menerangkan dan memberikan nilai atas usaha muridnya selama proses belajar.
Betapa bangganya seorang guru yang membagi ilmu pada anak didik beliau, dan anak
didiknya kembali membagikan ilmu tersebut pada generasi berikutnya.
Seorang guru berhak
memberikan nilai pada siswanya dan memberi tahu kriteria penilaiannya. Tapi
apakah seorang guru pernah mengajarkan bagaimana seorang siswa harus berjuang
demi mendapat nilai darinya? Mungkin ada sebagian guru yang mengajarkan itu,
tapi seorang siswa juga memperhitungkan kebiasaan guru tersebut. Jika guru itu
malas membaca tugas para siswa dan hanya membubuhkan tanda tangan sebagai
pengahargaan bagi usaha siswa mengerjakan tugas, para siswa juga cenderung
mengerjakan tugas dengan asal-asalan dan menyalinnya dari internet atau
temannya tanpa mereka mengerti apa yang mereka salin. Sebenarnya apa tujuan
guru memberi tugas tersebut? Untuk nilai atau agar siswanya mengerti materi
yang ditugaskan?
Apakah dalam KTSP seorang guru hanya memberi tugas dan nilai
saja? Ataukah dalam KTSP, seorang siswa dituntut untuk bertanya apa yang tidak
dimengerti dan guru tersebut akan menjelaskannya untuk siswa yang bertanya
saja? Banyak siswa yang dibiarkan tidak bisa karena ia malu bertanya pada
gurunya. Banyak guru yang menganggap siswa yang tidak bertanya sudah bisa. Tak
heran apabila banyak anggota DPR yang tertidur saat pemimpinnya sedang
berbicara karena dari dulu mereka diajarkan bahwa orang yang berbicara itu
bukan untuk dirinya, tetapi untuk orang yang mengajukan pertanyaan pada
pemimpin tersebut.
Setiap manusia terlahir dengan potensi masing-masing. Tanpa
digali dan dikembangkan potensi tersebut tidak ada apa-apanya. Menuntun manusia
agar potensinya dapat menjadi sesuatu yang berharga adalah tugas seorang guru.
Setiap murid juga terlahir dengan kekurangan masing-masing. Namun, kekurangan
itu ada bukan untuk diremehkan atau dilupakan begitu saja. Kekurangan itu ada
karena kita harus berusaha untuk melengkapinya dengan usaha dan upaya.
Seorang murid yang kurang dalam pelajaran Bahasa Inggris,
belum tentu dia juga kurang pada pelajaran lain. Guru yang baik akan menghargai
kekurangan dan kelebihan siswanya. Dan guru yang mendukung siswanya adalah guru
yang percaya akan kemampuan siswanya.
Kita lirik lagi pada budaya Indonesia, adanya hukuman fisik
sudah menjadi hal yang sangat wajar dan masih banyak para pendidik yang
memberikan hukuman fisik terhadap peserta didik mereka. Sebuah data menyatakan,
selama bulan Januari-April 2007 terdapat 417 kasus kekerasan terhadap anak.
Kekerasan fisik 89 kasus, kekerasan seksual 118 kasus, dan kekerasan psikis 210
kasus. Dari jumlah itu, 226 kasus terjadi di lingkungan sekolah.
Dalam menetapkan norma di sekolah, perlu didukung dengan
adanya sanksi. Jika hukuman dan sanksi itu tidak sesuai dengan sebagaimana
mestinya, maka terjadi kekerasan. Sering kali adanya kesenjangan kepentingan
antara pendidik dengan peserta didiknya, maka tak jarang pula timbullah
masalah, sehingga hukuman dijatuhkan pada peserta didik, karena guru merasa
berkewajiban dalam mempertahankan disiplin dan norma yang berlaku disekolah. Sering
kali hukuman itu bertentangan dengan hakikat pendidikan dan hak azasi anak. Dan
kekerasanlah hukumannya.
Menurut Blask (1951) Kekerasan (violence) adalah pemakaian
kekuatan yang tidak adil, dan tidak dapat dibenarkan, yang disertai emosi yang
hebatatau kemarahan yang tidak terkendali, tiba-tiba, bertenaga, kasar dan
menghina. Kekuatan itu biasanya kekuatan fisik yang disalahgunakan terhadap
hak-hak umum, kebebasan umum sehingga bertentangan dengan hukum.
Kekerasan dalam pendidikan tampak seperti hukuman fisik yang
mana pendidik tidak punya pilihan lain yang lebih baik lagi, yang sudah
kehabisan akal, atau pendidik yang sudah terbiasa untuk berlaku kasar.
Menurutnya, kekerasan adalah hal yang mudah karena tidak membutuhkan pemikiran,
latihan atau pengertian terhadap peserta didik, cukup dengan kewenangan
melakukannya.
Kekerasan memang tidak selalu merupakan perilaku menyimpang.
Ada juga paham yang yang mengemukakan bahwa kekerasan itu sudah melekat pada
kemanusiaan seseorang, dan menganggapnya sebagai alat pengendali diri (self
restraint).
Kemungkinan terjadinya kekerasan diawali oleh latar belakang
pendidik dan anak didik. Atau oleh situasi saat berlangsungnya proses
pembelajaran yang menimbulkan gejolak kedua belah pihak. Namun, beban kurikulum
yang padat mungkin sedikit memicu persoalan. Bisa juga terjadi karena guru
tidak paham makna dari kekerasan dan akibat negatifnya. Menurutnya, murid akan
jera karena dihukum dengan beban fisik. Justru sebaliknya, hal itu dapat
menyebabkan tekanan mental pada siswa, terlebih lagi jika peserta didik
tersebut membenci dan tidak lagi respek terhadap gurunya.
Terjadinya hal demikian karena kurangnya kasih saying guru,
seolah-olah dia memperlakukan muridnya sebagai subjek yang memiliki perbedaan
individual. Juga karena kurangnya kompetensi kepala sekolah untuk membimbing
dan mengevaluasi pendidik di sekolahnya.
Kisah kekerasan dalam pendidikan sering terjadi di
Indonesia. Dampaknya selain menimbulkan luka fisik, juga luka psikologis.
Fenomena ini bukan semata masalah pribadi, tapi juga merupakan tanggung jawab
negara dan masyarakat, maupun menegak hukum harus terlibat untuk mengatasinya. Komite
sekolah seharusnya lebih berperan dalam meniadakan praktik kekerasan yang
bertentangan dengan tujuan pendidikan.
Murid yang mengalami hukuman fisik akan mamakai kekerasan di
lingkungan keluarganya nanti, begitulah siklus kekerasan. Kekerasan akan
melahirkan kekerasan. Disadari atau tidak, kekerasan akan membentuk psikologi
sosial masyarakat Indonesia yang sampai saat ini masih terjadi di lingkungan
kita, seperti kekerasan kakak kelas terhadap adik kelasnya.
Dampak dari kekerasan akan melahirkan proses ketakutan dalam
diri anak untuk menciptakan ide-ide yang inovatif dan inventif. Kepincangan
psikologis ini dapat kita lihat pada anak-anak sekolahan yang cenderung pasif
dan merasa takut dan malu untuk berbicara didepan umum. Anak yang diberi
hukuman fisik akan mengalami gangguan psikologis seperti pendiam, suka
menyendiri, dan terkadang melakukan kekerasan yang sama terhadap teman atau
orang lain.
Mari kita bandingkan sistim pendidikan Indonesia dengan
negara lain. Di Amerika, murid baru dari negara lain yang diberikan tugas
membuat karangan yang menurut orang tuanya karangan tersebut tidak ada
logikanya dan sangat sederhana mendapatkan nilai E (excellent) yang artinya
sempurna. Orang tuanya kembali bertanya, bukankah pendidikan itu memerlukan
kesungguhan?. Di Indonesia, guru sangat sulit untuk memberi nilai. Filosofi
mendidik disana bukan untuk menghukum, melainkan untuk merangsang murid-murid
agar maju. Encouragement. Bagi seorang guru Amerika, murid luar negeri yang
baru saja datang ke negaranya, dan melihat karangan berbahasa Inggris, itu
adalah hal yang luar biasa. Kita tidak dapat
mengukur prestasi orang lain menurut ukuran kita.
Di Indonesia,
ketika seorang penguji atau promotor membela atau meluruskan pertanyaan,
penguji marah-marah, tersinggung, dan menyebarkan berita tidak sedap seakanakan
kebaikan itu ada udang di balik batunya. Sebagai orang yang diuji, dia akan
mengalami frustrasi yang luar biasa menyaksikan bagaimana para dosen menguji
berbelit-belit seakan membuat suasana yang tidak bersahabat. Mereka bukan
melakukan encouragement, melainkan discouragement. Hasilnya pun bisa diduga,
kelulusan rendah dan yang diluluskan pun kualitasnya tidak hebat-hebat betul.
Orang yang tertekan ternyata belakangan ditemukan juga menguji mahasiswanya
dengan cara menekan. Ada semacam balas dendam dan kecurigaan.
Pantaslah anak-anak di sana mampu menjadi penulis karya-karya ilmiah yang hebat, bahkan penerima hadiah Nobel. Bukan karena mereka punya guru yang pintar secara akademis, melainkan karakternya sangat kuat: karakter yang membangun, bukan merusak.
Pantaslah anak-anak di sana mampu menjadi penulis karya-karya ilmiah yang hebat, bahkan penerima hadiah Nobel. Bukan karena mereka punya guru yang pintar secara akademis, melainkan karakternya sangat kuat: karakter yang membangun, bukan merusak.
Bisakah kita mencetak orang-orang hebat dengan cara
menciptakan hambatan dan rasa takut? Bukan tidak mustahil kita adalah generasi
yang dibentuk oleh sejuta ancaman, rotan pemukul, tangan bercincin batu akik,
kapur, dan penghapus yang dilontarkan dengan keras oleh guru, sundutan rokok dan
seterusnya. Kita dibesarkan dengan seribu satu kata-kata ancaman: Awas..., Kalau,...,
Nanti,..., dan tentu saja tulisan berwarna merah menyala di atas kertas ujian
dan rapor di sekolah. Dan pastinya, tidak dengan kekerasan.
Solusi mengatasi kekerasan dalam pendidikan bisa dilakukan
dengan mengarahkan semua pihak ke hal-hal yang positif dan meniadakan hal yang
negatif. Beberapa alternatif pengganti hukuman fisik seperti menjalankan aturan
secara konsisten, memperlakukan semua murid secara sama, membuat aturan yang
mudah dimengerti dan dijalankan, berpikiran positif dan selalu berlandaskan
kejujuran.
Kejujuran memang datang dari diri sendiri dan untuk diri
sendiri pula, tapi tidak ada salahnya mencontohkan kejujuran untuk orang lain
dan mendidiknya untuk berperilaku jujur. Meskipun kejujuran sepenuhnya tidak
mampu membawa Indonesia menjadi negara maju, setidaknya Indonesia mampu
berkembang dengan keadaan yang cukup baik untuk kesejahteraannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar